Sebagai francis video game, reputasi Assassin’s Creed sudah tak perlu diragukan lagi. Sejak tahun 2007 hingga sekarang, game action stealth berbumbu peristiwa sejarah karya developer Ubisoft ini sudah menelurkan sembilan seri game utama serta banyak spin-off lintas media dalam wujud game, novel, komik, dan film pendek.
Disutradarai oleh Justin Kurzel (Macbeth) dan diperankan oleh nama-nama besar seperti Michael Fassbender (Steve Jobs), Marion Cotillard (The Dark Knight Rises), serta Jeremy Irons (Batman v Superman: Dawn of Justice), film ini tampak menjanjikan. Meski deretan aktor papan atas saja belum sepenuhnya menjamin kualitas sebuah film, kesetiaan Assassin’s Creed terhadap sumbernya menjadi salah satu alasan mengapa film ini patut dipertimbangkan untuk ditonton.
Perlu diketahui, saya mengulas film ini dari kacamata penonton. Saya hanya sempat mencoba satu judul game Assassin’s Creed dan itu pun belum sampai selesai, sehingga saya belum bisa berkata banyak dari sudut pandang penggemar game Assassin’s Creed.
Konflik abadi dua persaudaraan rahasia
Film Assassin’s Creed membawakan kisah orisinal yang berdiri sendiri dari cerita versi game. Alih-alih Desmond Miles, kamu akan mengikuti petualangan tokoh baru bernama Callum Lynch.
Film dibuka dengan adegan ritual inisiasi Assassin di masa lampau. Melompat ke masa kini, film mengenalkan tokoh Callum Lynch (Michael Fassbender), seorang kriminal terpidana mati. Ketika eksekusinya akan dilaksanakan, ia malah diculik ke sebuah pusat rehabilitasi milik perusahaan Abstergo.
Di sana Lynch bertemu Dr. Sophia Rikkin (Marion Cotillard), ilmuwan kepala pusat rehabilitasi tersebut. Dr. Rikkin meminta Lynch untuk berpartisipasi dalam program Animus Project, sebagai cara agar Abstergo dapat menyembuhkan “penyakit” kekerasan pada umat manusia.
Saat dipasangkan pada mesin Animus, Lynch menjalani memori leluhurnya secara langsung, yaitu seorang Assassin bernama Aguilar de Nerha (juga diperankan oleh Michael Fassbender) yang hidup pada masa Inkuisisi Spanyol di abad ke-15. Awalnya Lynch tidak mengerti untuk apa pihak Abstergo menelusuri jejak leluhurnya. Meski begitu, cepat atau lambat Lynch akan menyadari adanya agenda lain yang jauh lebih besar dari yang ia perkirakan.
Sebagaimana cerita dalam game, tujuan utama Abstergo (yang merupakan organisasi Templar) menelusuri memori para Assassin adalah untuk menemukan sebuah artefak bernama Apple of Eden demi menguasai dunia.
Pertarungan dua persaudaraan rahasia, yaitu Templar yang bertujuan mengendalikan dunia melawan Assassin dengan tujuan membebaskan dunia, kini telah dimulai kembali.
Adaptasi yang setia pada bahan sumbernya
Tidak seperti film adaptasi komik superhero yang seringkali berbeda dari bahan sumbernya, Assassin’s Creed justru berusaha sedekat mungkin dengan video game. Film ini bahkan memberi peningkatan pada satu unsur dalam versi game, yaitu mesin Animus.
Di sini, kamu dapat melihat mesin Animus yang jauh lebih canggih. Animus versi film berbentuk lengan mekanik dengan pergerakan 360 derajat sehingga memungkinkan subjek untuk bergerak bebas sesuai dengan sinkronisasi memori leluhurnya. Mesin Animus ini juga dilengkapi proyektor virtual reality sehingga pengamat (termasuk kamu sebagai penonton) dapat melihat aksi Aguilar di masa lampau melalui raga Lynch di masa kini.
Selain itu, ciri khas lain dari game Assassin’s Creed juga ditampilkan. Mulai dari air assassination, teknik bela diri Assassin dengan penguasaan beragam senjata, aksi parkour, referensi sejarah yang sesuai peristiwa aslinya, sampai Leap of Faith pun bisa kamu temukan di film ini, dan setiap aspek tersebut digarap dengan cukup baik. Memang ada satu dua adegan laga yang terasa agak janggal, namun itu adalah hal yang wajar dalam film aksi.
Mengenai latar sejarah, kisah Aguilar dalam Assassin’s Creed terjadi pada tahun 1492 di Andalusia pada masa Inkuisisi Spanyol. Inkuisisi Spanyol sendiri adalah gerakan yang dimulai pada tahun 1478, ketika Raja Ferdinand II dan Ratu Isabella I bersama institusi Gereja Katolik melakukan pelarangan keras terhadap semua agama nonkristiani di Spanyol, khususnya Islam dan Yahudi.
Selama periode ini banyak umat Muslim dan Yahudi yang dipaksa menganut agama Katolik, bahkan tidak sedikit pula yang disiksa dan dibunuh. Gerakan ini baru secara resmi berakhir pada tahun 1834. Dalam film ini kamu dapat melihat beberapa tokoh sejarah nyata pada masa itu, misalnya Bruder Fray Alonso de Ojeda dan Sultan Muhammad XII. Setiap dialog dalam adegan di masa Inkuisisi Spanyol dibawakan sepenuhnya dalam bahasa Spanyol, sehingga menimbulkan kesan autentik yang cukup kuat.
Saya rasa, hadirnya unsur-unsur familier ini dapat sedikit menyenangkan bagi para penggemar game Assassin’s Creed sekaligus menjadi sajian menarik bagi penonton awam.
Padat namun minim karakterisasi
Seri game Assassin’s Creed memiliki kisah panjang yang melintasi berbagai zaman sejarah. Bila diadaptasi dalam novel mungkin masih ideal, namun membawakan kisah sepanjang itu dalam film yang dibatasi durasi dua jam tentu bukan perkara mudah. Sutradara Justin Kurzel dan para kru di balik layar bisa dibilang mampu melakukannya, dan hasilnya adalah sebuah film dengan plot yang padat.
Dalam film ini, kamu tidak bisa mengharapkan penjelasan panjang lebar tentang dunia Assassin’s Creed, namun kamu akan langsung ditunjukkan lewat tindakan para tokohnya (seperti prinsip naratif “show, don’t tell“). Hal ini berpotensi membingungkan penonton yang belum akrab dengan francis Assassin’s Creed, dan tentu saja dibutuhkan fokus yang tinggi untuk memahami plot film yang disajikan. Meski demikian, penonton kasual juga dapat menghibur diri dengan keindahan visual dan adegan-adegan laga yang ditampilkan.
Padatnya plot film ini terfokus pada premis utamanya saja, yaitu konflik Assassin melawan Templar. Sayangnya, untuk menyampaikan konflik besar ini dalam durasi yang terbatas, pengembangan karakter setiap tokoh menjadi aspek yang terpaksa dikorbankan. Callum Lynch sang tokoh utama hanya mendapat sedikit kisah latar belakang, dan tokoh-tokoh pendukung lainnya seolah hanya menjadi pelengkap semata. Sampai akhir film pun, besar kemungkinan kamu tidak akan merasa terkoneksi maupun bersimpati dengan karakter-karakternya.
Dialog antartokoh, terutama antara Lynch dengan Dr. Sophia Rikkin, juga agak terasa kaku. Yang pasti hal itu bukan karena kualitas aktornya yang buruk, tapi kemungkinan disebabkan penulisan skenarionya.
Meski terpaksa mengorbankan aspek penokohan, konsistensi film Assassin’s Creed terhadap premis utamanya layak diacungi jempol. Kisah Callum Lynch hanyalah sebagai pengantar menuju konflik yang lebih besar. Segera setelah Lynch menyadari jati dirinya sebagai keturunan Assassin, skala konflik perlahan membesar sampai menuju adegan akhir yang epik. Ini bukanlah kisah personal Callum Lynch maupun Aguilar de Nerha, melainkan kisah perjuangan persaudaraan Assassin membebaskan dunia dari genggaman Templar.
Kesimpulan
Assassin’s Creed adalah film aksi yang cukup solid. Meski terpaksa mengorbankan aspek karakterisasi, film ini tetap konsisten dengan premis utamanya sampai akhir. Selain itu, film Assassin’s Creed tetap setia dengan bahan sumbernya. Ia menampilkan berbagai ciri khas dari game Assassin’s Creed dengan cukup baik.
Pada akhirnya, saya rasa akan tetap ada segolongan gamer yang berekspektasi tinggi tanpa melihat keterbatasan media film maupun penonton yang belum bisa lepas dari stigma bahwa film adaptasi video game selalu jelek. Itu sah-sah saja, karena memang sebelumnya banyak sekali film adaptasi game yang jelek terutama ketika Uwe Boll masih aktif berkarier sebagai sutradara film.
Memang Assassin’s Creed masih memiliki beberapa kekurangan dan belum bisa dikatakan sebagai film yang luar biasa, namun secara keseluruhan Assassin’s Creed adalah film yang cukup bagus. Perlahan tapi pasti, dimulai dari berbagai film yang dirilis tahun ini, saya rasa film adaptasi game akan menuju arah yang lebih baik
0 komentar:
Posting Komentar