ahun ini adalah tahun yang cukup dimeriahkan kemunculan film-film adaptasi
game ternama. Setelah
Angry Birds dan
Warcraft,
Assassin’s Creed menjadi film adaptasi
game sebagai penutup tahun 2016 ini.
Sebagai francis
video game, reputasi
Assassin’s Creed sudah tak perlu diragukan lagi. Sejak tahun 2007 hingga sekarang,
game action stealth berbumbu peristiwa sejarah karya developer Ubisoft ini sudah menelurkan sembilan seri
game utama serta banyak
spin-off lintas media dalam wujud
game, novel, komik, dan film pendek.
Disutradarai oleh Justin Kurzel (
Macbeth) dan diperankan oleh nama-nama besar seperti Michael Fassbender (
Steve Jobs), Marion Cotillard (
The Dark Knight Rises), serta Jeremy Irons (
Batman v Superman: Dawn of Justice), film ini tampak menjanjikan. Meski deretan aktor papan atas saja belum sepenuhnya menjamin kualitas sebuah film, kesetiaan
Assassin’s Creed terhadap sumbernya menjadi salah satu alasan mengapa film ini patut dipertimbangkan untuk ditonton.
Perlu diketahui, saya mengulas film ini dari kacamata penonton. Saya hanya sempat mencoba satu judul
game Assassin’s Creed dan itu pun belum sampai selesai, sehingga saya belum bisa berkata banyak dari sudut pandang penggemar
game Assassin’s Creed.
Konflik abadi dua persaudaraan rahasia
Film
Assassin’s Creed membawakan kisah orisinal yang berdiri sendiri dari cerita versi
game. Alih-alih Desmond Miles, kamu akan mengikuti petualangan tokoh baru bernama Callum Lynch.
Film dibuka dengan adegan ritual inisiasi Assassin di masa lampau.
Melompat ke masa kini, film mengenalkan tokoh Callum Lynch (Michael
Fassbender), seorang kriminal terpidana mati. Ketika eksekusinya akan
dilaksanakan, ia malah diculik ke sebuah pusat rehabilitasi milik
perusahaan Abstergo.
Di sana Lynch bertemu Dr. Sophia Rikkin (Marion Cotillard), ilmuwan
kepala pusat rehabilitasi tersebut. Dr. Rikkin meminta Lynch untuk
berpartisipasi dalam program Animus Project, sebagai cara agar Abstergo
dapat menyembuhkan “penyakit” kekerasan pada umat manusia.
Saat dipasangkan pada mesin Animus, Lynch menjalani memori leluhurnya
secara langsung, yaitu seorang Assassin bernama Aguilar de Nerha (juga
diperankan oleh Michael Fassbender) yang hidup pada masa Inkuisisi
Spanyol di abad ke-15. Awalnya Lynch tidak mengerti untuk apa pihak
Abstergo menelusuri jejak leluhurnya. Meski begitu, cepat atau lambat
Lynch akan menyadari adanya agenda lain yang jauh lebih besar dari yang
ia perkirakan.
Sebagaimana cerita dalam
game, tujuan utama Abstergo (yang
merupakan organisasi Templar) menelusuri memori para Assassin adalah
untuk menemukan sebuah artefak bernama Apple of Eden demi menguasai
dunia.
Pertarungan dua persaudaraan rahasia, yaitu Templar yang bertujuan
mengendalikan dunia melawan Assassin dengan tujuan membebaskan dunia,
kini telah dimulai kembali.
Adaptasi yang setia pada bahan sumbernya
Tidak seperti film adaptasi komik
superhero yang seringkali berbeda dari bahan sumbernya,
Assassin’s Creed justru berusaha sedekat mungkin dengan
video game. Film ini bahkan memberi peningkatan pada satu unsur dalam versi
game, yaitu mesin Animus.
Di sini, kamu dapat melihat mesin Animus yang jauh lebih canggih.
Animus versi film berbentuk lengan mekanik dengan pergerakan 360 derajat
sehingga memungkinkan subjek untuk bergerak bebas sesuai dengan
sinkronisasi memori leluhurnya. Mesin Animus ini juga dilengkapi
proyektor
virtual reality sehingga pengamat (termasuk kamu sebagai penonton) dapat melihat aksi Aguilar di masa lampau melalui raga Lynch di masa kini.
Selain itu, ciri khas lain dari
game Assassin’s Creed juga ditampilkan. Mulai dari
air assassination, teknik bela diri Assassin dengan penguasaan beragam senjata, aksi
parkour,
referensi sejarah yang sesuai peristiwa aslinya, sampai Leap of Faith
pun bisa kamu temukan di film ini, dan setiap aspek tersebut digarap
dengan cukup baik. Memang ada satu dua adegan laga yang terasa agak
janggal, namun itu adalah hal yang wajar dalam film aksi.
Mengenai latar sejarah, kisah Aguilar dalam
Assassin’s Creed terjadi
pada tahun 1492 di Andalusia pada masa Inkuisisi Spanyol. Inkuisisi
Spanyol sendiri adalah gerakan yang dimulai pada tahun 1478, ketika Raja
Ferdinand II dan Ratu Isabella I bersama institusi Gereja Katolik
melakukan pelarangan keras terhadap semua agama nonkristiani di Spanyol,
khususnya Islam dan Yahudi.
Selama periode ini banyak umat Muslim dan Yahudi yang dipaksa
menganut agama Katolik, bahkan tidak sedikit pula yang disiksa dan
dibunuh. Gerakan ini baru secara resmi berakhir pada tahun 1834. Dalam
film ini kamu dapat melihat beberapa tokoh sejarah nyata pada masa itu,
misalnya
Bruder Fray Alonso de Ojeda dan
Sultan Muhammad XII.
Setiap dialog dalam adegan di masa Inkuisisi Spanyol dibawakan
sepenuhnya dalam bahasa Spanyol, sehingga menimbulkan kesan autentik
yang cukup kuat.
Saya rasa, hadirnya unsur-unsur familier ini dapat sedikit menyenangkan bagi para penggemar
game Assassin’s Creed sekaligus menjadi sajian menarik bagi penonton awam.
Padat namun minim karakterisasi
Seri
game Assassin’s Creed memiliki kisah panjang
yang melintasi berbagai zaman sejarah. Bila diadaptasi dalam novel
mungkin masih ideal, namun membawakan kisah sepanjang itu dalam film
yang dibatasi durasi dua jam tentu bukan perkara mudah. Sutradara Justin
Kurzel dan para kru di balik layar bisa dibilang mampu melakukannya,
dan hasilnya adalah sebuah film dengan plot yang padat.
Dalam film ini, kamu tidak bisa mengharapkan penjelasan panjang lebar tentang dunia
Assassin’s Creed, namun kamu akan langsung ditunjukkan lewat tindakan para tokohnya (seperti prinsip naratif “
show, don’t tell“). Hal ini berpotensi membingungkan penonton yang belum akrab dengan francis
Assassin’s Creed, dan
tentu saja dibutuhkan fokus yang tinggi untuk memahami plot film yang
disajikan. Meski demikian, penonton kasual juga dapat menghibur diri
dengan keindahan visual dan adegan-adegan laga yang ditampilkan.
Padatnya plot film ini terfokus pada premis utamanya saja, yaitu
konflik Assassin melawan Templar. Sayangnya, untuk menyampaikan konflik
besar ini dalam durasi yang terbatas, pengembangan karakter setiap tokoh
menjadi aspek yang terpaksa dikorbankan. Callum Lynch sang tokoh utama
hanya mendapat sedikit kisah latar belakang, dan tokoh-tokoh pendukung
lainnya seolah hanya menjadi pelengkap semata. Sampai akhir film pun,
besar kemungkinan kamu tidak akan merasa terkoneksi maupun bersimpati
dengan karakter-karakternya.
Dialog antartokoh, terutama antara Lynch dengan Dr. Sophia Rikkin,
juga agak terasa kaku. Yang pasti hal itu bukan karena kualitas aktornya
yang buruk, tapi kemungkinan disebabkan penulisan skenarionya.
Meski terpaksa mengorbankan aspek penokohan, konsistensi film
Assassin’s Creed terhadap
premis utamanya layak diacungi jempol. Kisah Callum Lynch hanyalah
sebagai pengantar menuju konflik yang lebih besar. Segera setelah Lynch
menyadari jati dirinya sebagai keturunan Assassin, skala konflik
perlahan membesar sampai menuju adegan akhir yang epik. Ini bukanlah
kisah personal Callum Lynch maupun Aguilar de Nerha, melainkan kisah
perjuangan persaudaraan Assassin membebaskan dunia dari genggaman
Templar.
Kesimpulan
Assassin’s Creed adalah film aksi yang cukup solid. Meski
terpaksa mengorbankan aspek karakterisasi, film ini tetap konsisten
dengan premis utamanya sampai akhir. Selain itu, film
Assassin’s Creed tetap setia dengan bahan sumbernya. Ia menampilkan berbagai ciri khas dari
game Assassin’s Creed dengan cukup baik.
Pada akhirnya, saya rasa akan tetap ada segolongan
gamer
yang berekspektasi tinggi tanpa melihat keterbatasan media film maupun
penonton yang belum bisa lepas dari stigma bahwa film adaptasi
video game selalu jelek. Itu sah-sah saja, karena memang sebelumnya banyak sekali film adaptasi
game yang jelek terutama ketika
Uwe Boll masih aktif berkarier sebagai sutradara film.
Memang
Assassin’s Creed masih memiliki beberapa kekurangan dan belum bisa dikatakan sebagai film yang luar biasa, namun secara keseluruhan
Assassin’s Creed adalah film yang cukup bagus. Perlahan tapi pasti, dimulai dari berbagai film yang dirilis tahun ini, saya rasa film adaptasi
game akan menuju arah yang lebih baik